Oleh : Edy Suparjan

source: https://www.tempo.co
Demonstrasi besar yang berlangsung pada 28–29 Agustus 2025 di depan Gedung DPR RI tidak sekadar menyuarakan penolakan terhadap kenaikan tunjangan mewah anggota legislatif—melainkan membuka luka sejarah dan mencerminkan sebuah kenyataan politik yang terdistorsi oleh simbol dan representasi. Aksi mahasiswa dan buruh di tengah krisis ekonomi ini mencerminkan ketidakadilan struktural, saat aspirasi rakyat yang merana—akibat kelangkaan gas elpiji, pengangguran, dan beban pajak—berhadapan dengan perilaku elit politik yang tampak tak peka.
Sejarah Bergema: 17 Oktober 1952 dan pesan militer terhadap DPR
Kilas balik ke 17 Oktober 1952 menghadirkan gambaran pelik hubungan militer–sipil di era Demokrasi Liberal. Saat itu, KSAD Kolonel A. H. Nasution bersama tujuh panglima daerah mendesak pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) karena dianggap mencampuri urusan internal militer. Demonstran yang diorganisir oleh militer bergerak menuju Istana Merdeka, diikuti tekanan dari meriam dan tank. Namun Presiden Sukarno dengan tegas menolak tunduk pada paksaan—menyatakan bahwa ia “tidak akan menjadi diktator”, dan memilih mempercepat pemilu daripada membubarkan parlemen.
Peristiwa tersebut menjadi kritik keras terhadap dominasi militer dalam politik dan mempertanyakan legitimasi parlemen. Ini menjadi landasan penting untuk mengkritik kekuatan politik yang melewati batas konstitusional.
Kenaikan Tunjangan DPR dan Reaksi Publik
Kini, lebih dari 70 tahun berselang, narasi seakan berulang dalam bentuk baru. Direktur komunikasi DPR sempat mengusulkan kenaikan gaji dan tunjangan rumah mencapai Rp 50 juta per bulan, di tengah kondisi ekonomi yang menimpa mayoritas rakyat. selain itu, tunjangan beras 12 Juta, tunjangan bensin 7 juta per bulannya. belum lagi tunjangan-tunjangan lainnya.
Efeknya: rakyat merasa dikecewakan. Dalam konteks demonstrasi pada 28–29 Agustus 2025, tuntutan untuk “bubarkan DPR” atau cabut kenaikan tunjangan muncul sebagai simbol penolakan terhadap representasi yang tak lagi merepresentasikan rakyat. Jika dulu militer yang menuntut pembubaran parlemen demi privilegenya, kini rakyat yang menuntut agar lembaga paling tinggi legislatif itu kembali berfungsi sebagai wakil sejati, bukan panggung kenyamanan elit.
Ketegangan Simbol dan Realitas: Memaknai Simulacra Baudrillard
Jean Baudrillard, dalam teori simulacra, menyampaikan bahwa di era modern, realitas sering digantikan oleh representasi yang bahkan tak pernah merujuk pada hal nyata—yang lebih nyata daripada realitas, namun justru mengaburkan realitas asli.
Contohnya:
Lembaga legislatif menjadi simulakrum—bukan representasi pilihan rakyat, melainkan entitas yang mempertontonkan kekuasaan dan kemewahan.
Narasi kenaikan tunjangan bukan berbicara soal kebutuhan legislator, melainkan sebuah visualisasi simbolik ketidakpedulian elit terhadap penderitaan rakyat.
Simulacra menciptakan “hyperrealitas”—dimana realitas diciptakan oleh citra, bukan sebaliknya. Demonstrasi itu, maka, adalah bentuk protes terhadap teori hiper-real; rakyat menuntut agar DPR kembali menjadi realitas: menjadi wakil yang hidup dari aspirasi rakyat, bukan citra kekuasaan yang jauh dari dasar.
Intervensi Asing: Klaim AM Hendropriyono
Di tengah ketegangan tersebut, Mantan Kepala BIN, A. M. Hendropriyono, menyebut bahwa demonstrasi tidak murni spontan: ada intervensi oleh aktor non-negara—seperti George Soros, George Tenet, David Rockefeller, Bloomberg—yang “menggerakkan kaki tangan” dari luar negeri untuk memperkeruh suasana, membuat eskalasi kerusuhan.
Menurutnya, pihak-pihak ini bukan negara, tetapi punya pengaruh besar terhadap kebijakan yang kemudian tampak sesuai dengan usulan mereka. Dalam kerangka simulacra, ini memperparah distorsi realitas: bukan hanya citra kekuasaan yang digelapkan, tetapi juga ditunggangi oleh narasi global kapital yang siap menunggangi konflik lokal.
Kesimpulan & Seruan
1. Kesadaran historis: Sejarah 1952 mengingatkan kita bahwa tuntutan pembubaran DPR bukanlah suatu konsep asing. Namun motifnya telah bergeser—dulu militer, kini rakyat.
2. Penguatan institusi: DPR harus kembali berfungsi sebagai representasi rakyat—tidak lewat tunjangan fantastis dan citra kemewahan, tetapi lewat kerja nyata dan empati. Realitas mereka harus nyata, bukan sekadar pertunjukan.
3. Waspada terhadap distorsi: Demo yang murni bisa disusupi—narasi lokal bisa dimanipulasi oleh aktor tak terlihat sebagai alat simulacrum—menjelma jadi perang citra, bukan adegan perubahan.
4. Berpegang pada realitas rakyat: Rakyat yang menderita, butuh kebijakan pro-rakyat, bukan representasi kosong. DPR perlu dikembalikan pada realitas: menjadi pelayan publik, bukan panggung simbol.
Penutup
Dalam era di mana citra dan representasi sering menutupi realitas, demonstrasi ini adalah teriakan rakyat agar kenyataan kembali diberi ruang. Republik adalah realitas yang harus dihidupi oleh lembaga-lembaga rakyat, bukan hanya dilihat. Semoga opini ini menginspirasi agar DPR kembali ke fungsi dasar: menjadi wakil rakyat, bukan maestro simulacra. untuk generasi, kita lihat kondisi Indonesia sedang krisis, jangan sampai kita semua dapat di adu domba oleh pihak asing. mari kita berikan kesempatan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendisiplin seluruh aparatur negara.
[1]: https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_17_Oktober?utm_source=chatgpt.com “Peristiwa 17 Oktober”
[2]: https://en.wikipedia.org/wiki/17_October_affair?utm_source=chatgpt.com “17 October affair”
[3]: https://tirto.id/para-perwira-angkatan-darat-tuntut-parlemen-dibubarkan-bUWo?utm_source=chatgpt.com “Para Perwira Angkatan Darat Tuntut Parlemen Dibubarkan”
[4]: https://www.merdeka.com/peristiwa/17-oktober-1952-saat-meriam-tni-paksa-soekarno-bubarkan-dpr.html?utm_source=chatgpt.com “17 Oktober 1952, saat meriam TNI paksa Soekarno …”
[5]: https://kumparan.com/kumparannews/hendropriyono-ngaku-tahu-dalang-demo-ricuh-dpr-dari-luar-negeri-25kCmw568CF?utm_source=chatgpt.com “Hendropriyono Ngaku Tahu Dalang Demo Ricuh DPR”